Sebagai salah satu media komunikasi massa, sebuah film umumnya akan menggabungkan keserasian antara gambar, suara, dan narasi untuk bercerita. Keselarasan beberapa elemen tersebut menjadikan film sangat berpotensi menjangkau jutaan orang bahkan mempengaruhi lewat pelibatan emosional dan intelektual kepada penonton.
Berangkat dari hal tersebut, pada sesi pertama bedah film “Tirta Carita”, kami mengambil tema tentang bagaimana mengelola sebuah gerakan melalui sebuah film. Dalam acara ini, kami turut mengundang Efi Latifah yang merupakan produser film tersebut dan juga Moh. Badar sebagai perwakilan praktisi dari AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) yang sekaligus pengelola dari media “Gusdurian Peduli”, ditemani dengan Daniels Stephanus yang juga merupakan anggota EJEF mereka memaparkan bagaimana tujuan film ini dibuat dan dampaknya bagi masyarakat secara luas.
Tirta Carita

Film yang disutradarai oleh Subiyanto tersebut, projek awalnya sebenarnya adalah buku, tetapi karena akses dari sebuah buku dirasa masih sangat terbatas, Efi bersama kawan kawan akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah film “agar karya ini bisa tetap lestari dan jadi pembelajaran anak cucu secara luas nantinya” terang Efi, cita cita inilah yang kemudian mendorong mereka menuangkan isi buku menjadi sebuah film berdurasi 30 menitan ini.
Sebagai film yang memiliki cita cita besar, Efi tidak mau film ini bersifat subjektif saja, baginya pelibatan banyak elemen menjadi hal yang sangat krusial untuk mewujudkan cita cita mulia tersebut.
Upaya mewujudkan cita cita tersebut dilakukan tidak main main, Efi menjelaskan bahwa proses film ini banyak melibatkan berbagai pihak mulai dari akademisi, kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Malang, mantan Direktur Jasa Tirta, jurnalis hingga beberapa mahasiswa dan komunitas lokal. Mereka semua terlibat dengan peran dan kompetensinya masing masing.
Tak berhenti hanya melibatkan saja. Bahkan, sebelum penayangan film, mereka mengadakan FGD (Focus Group Discussion) bersama pihak pihak diatas. Melalui forum tersebut, film itu akhirnya harus “dibongkar” kembali, untuk lebih mendapatkan kondisi realistis yang terjadi di alam dan masyarakat secara langsung, hal tersebut tentu saja dilakukan agar masyarakat lebih aware bagaimana kondisi air dan alam Malang Raya saat ini.
Perjuangan panjang mereka tidak sia-sia, setelah film ini tayang, banyak dari beberapa komunitas yang tertarik untuk membedah dan kemudian mendiskusikan permasalahan air yang terkandung dalam film tersebut. Efi sebagai produser sangat tidak keberatan jika film ini dibedah secara luas, bahkan tanpa perlu ijin sekalipun, karena baginya masalah “royalti” ataupun hal hal yang bersifat komersil tidak jauh lebih penting daripada nilai yang ada dalam film.
Selaras dengan pernyataan tersebut, Badar juga mengungkapkan bahwa film ini sangat “special”, kenapa? Baginya “Tirta Carita” ini adalah film yang “penuh” tapi digratiskan dan mengesampingkan nilai komersial untuk tujuan yang lebih besar.
Dalam diskusi tersebut Badar juga mengungkapkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh AJI beberapa waktu lalu, bahwasannya saat ini masyarakat Indonesia lebih cenderung dapat menerima informasi lewat sebuah visual yang menarik dan tentu saja harus kolaboratif. Badar mengambil contoh film “sexy killer” yang dikeluarkan oleh Watchdoc dengan kolaborasi banyak pihak kala itu, terbukti cukup membuat masyarakat tahu tentang adanya isu yang diangkat dalam film tersebut, bahkan tiga hari setelah perilisannya sexy killer tembus 5 juta viewers dengan 15 ribu komentar. Ini membuktikan bahwa kolaborasi yang tepat serta dikemas dengan visual dan narasi menarik, mampu membawa dampak besar pada tataran sosial di masyarakat, imbuhnya.
Selain karakter masyarakat, perkembangan teknologi juga turut serta menjadi pengaruh bagaimana perubahan kehidupan sosial di masyarakat. Di era digital saat ini memang sudah tidak dapat dipungkiri, bahwasannya segala informasi dapat menyebar dengan sangat cepat dari berbagai arah. Media sosial saat ini layaknya sudah seperti ombak, bergerak dan berubah dengan begitu cepat. Kecepatan media sosial ini, ternyata membawa dampak yang begitu besar bagi efektivitas media, semakin kesini media “mainstream” semakin tidak punya peran bagi kontrol sosial, sebagai contoh, Aan lulusan komunikasi UMM yang kebetulan hadir dalam forum ini mengungkapkan “saat ini, peran media mainstream semakin terkikis, seperti misalnya di Malang hampir tidak ada media yang mampu mengkritisi pembangunan di Kota Malang yang kurang berpihak pada masyarakat dan alam”, tentu saja ini bukan hanya karena penurunan kualitas media saja, tapi tingkat literasi di masyarakat yang masih rendah juga mempengaruhi hal tersebut terjadi. Lalu selanjutnya Aan menanyakan, bagaimana keefektivitasan gerakan melalui sebuah media, khusunya film?

Sebelum riset untuk kebutuhan film, kami terlebih dahulu menyusuri bagaimana kepercayaan masyarakat disana, terang Efi. Mungkin tidak semua, tapi banyak dari masyarakat kita yang masih kental dengan akar budaya dan kepercayaan lokal mereka, ternyata beberapa dari mereka menggunakan kepercayaan tersebut untuk melindungi alam sekitar termasuk air, hal hal inilah yang kemudian dikemas dalam sebuah film. Pendekatan semacam itu, menurut tim produksi “Tirta Carita” terbukti cukup efektif, dengan menyentuh sisi yang dekat dengan masyarakat tanpa menghilangkan nilai lokal, membuat mereka akan jauh lebih merasakan bagaimana sebenarnya realita yang terjadi di depan mereka. Efi juga bercerita, pernah suatu ketika film ini dijadikan salah satu liputan oleh media di Malang dengan judul “Musim Banjir”, pengambilan judul tersebut mampu membuat banyak masyarakat terpantik, hal tersebut dikarenakan Malang saat itu, dapat dipastikan ketika ada hujan akan terjadi musibah banjir.
Penggabungan nilai lokal, isu lokalitas dan narasi menarik, menjadi salah satu cara bagaimana sebuah film maupun karya jurnalistik dapat “sampai” secara efektif. Lebih jauh dari itu, Wakil dari AJI juga turut bercerita bagaimana pemutaran film yang dilaksanakan di salah satu desa, Desa Sumber Sareh, begitu Badar menyebutkan. Desa tersebut merupakan salah satu desa yang dulunya banyak sekali sumber air, akan tetapi saat ini sudah mulai tiada bahkan tak banyak masyarakat lokal yang tau, bahwa desanya dulu memiliki beberapa sumber air. Lewat pemutaran film tersebut, mereka akhirnya tau kenyataan itu dan kemudian merasakan bagaimana dampaknya saat ini ketika sumber itu hilang, kalau dulu sesepuh mereka
tinggal ambil saja air bersih, mereka saat ini harus rela membeli, karena sumbernya hilang. Pemutaran film di tempat tempat seperti inilah yang bisa dilakukan untuk mendorong transformasi sosial lewat karya karya jurnalistik maupun non-jurnalistik.