Beberapa bulan belakangan ini, tempat kami sering menjadi ruang diskusi publik dengan berbagai tema, mulai dari respon terhadap isu yang sedang hangat, problem lokalitas, hingga mengkaji bagaimana pergerakan sosial di kota ini. Meskipun penyelenggaranya lebih banyak dari kalangan mahasiswa, tapi tak jarang juga organisasi sosial ataupun Lembaga sosial diluar kampus turut menyelenggarakan kegiatan semacamnya. Sebagai seseorang yang “tumbuh-besar” dijalan, tentu saja hal semacam diskusi dengan format informal ini lebih saya sukai apalagi saya bisa turut nimbrung disela sela kesibukan bikin kopi.

Budaya “Ngopi”

Kedai Rupaduta Budaya Lewat Kopi 2

Dulu, semasa masih sekolah saya pernah punya mimpi mendirikan sebuah kedai yang bisa dipakai untuk kegiatan kegiatan seperti ini serta menjadi upaya peningkatan intelektual publik. Syukurlah, saat ini bisa terwujud meski warung ini bukan punya saya sih. Hehe

Kebiasaan nongkrong dan background masalalu tersebut pada akhirnya membawa saya banyak ngobrol bersama kawan kawan penyelenggara diluar diskusi utama, biasanya apapun akan kita bicarakan tak hanya terbatas pada kegiatan yang akan ataupun sudah berlangsung.

Dari berbagai obrolan perlahan saya mengetahui, mengapa mereka lebih nyaman mengadakan kegiatan semacam ini diluar kampus. Ribetnya perijinan administratif terkait tempat, pembatasan jam malam, hingga isu adanya potensi pembubaran ketika diskusi dengan tema sensitif menjadi alasan yang sering kali saya dengar dari kawan kawan. Memang pola semacam ini sudah bukan lagi hal baru yang kita dengar, rasanya meskipun saat ini sudah dianggap sebagai zaman “kebebasan berekspresi” akan tetapi masih ada saja pembatasan kebebasan yang tidak cukup masuk akal, disisi lain eklusifitas yang diciptakan pada lingkungan kampus turut menjadi faktor diskusi publik terbatas pada kalangan tertentu saja. Faktor seperti inilah yang menjadikan mereka enggan melaksanakan kegiatan di lingkungan kampus, bahkan tak jarang mereka merasa bahwa beberapa kampus gagal memberi ruang aktualisasi bagi mahasiswanya.

Lalu, Apakah berkegiatan diluar kampus aman dan nyaman?

Tentu saja tidak juga, meski kegiatan yang dilakukan diluar kampus akan terasa lebih cair karena tidak adanya keterikatan secara langsung, akan tetapi juga tidak menjamin bahwa diskusi akan berjalan baik baik saja. Banyaknya kasus pembubaran diskusi yang dilakukan oleh ormas, instansi, atau lembaga, membuat mereka harus terus was-was ketika melakukan kegiatan semacam diskusi. Belum lagi kendala teknis terkait besarnya nominal sewa tempat dan lain lain turut menjadi problem yang harus mereka hadapi.

Memang sih, kedai kopi atau ruang publik saat ini sudah banyak pilihannya, tapi rasanya hanya beberapa saja yang bisa menjadi ruang aktualisasi diri dan wadah intelektual bagi mereka. Tidak ada yang salah juga sebenarnya, kedai kopi adalah bisnis yang tentu saja tujuannya profit, apalagi bisnis seperti ini berkaitan dengan gaya hidup, mau tidak mau ya harus mengikuti tren pasar yang terus berubah. Tapi, juga tidak ada salahnya menjalankan kedai dengan fokus sebagai ruang aktualisasi.

Kedai Rupaduta Budaya Lewat Kopi 3

Konklusi

Ternyata, konsep informal yang dilakukan ketika diskusi atau sharing apapun temanya membuat semakin banyak orang terlibat dengan berbagai pikirannya. Semakin informal kegiatan, rasanya semakin tidak ada jarak atau batas antara narasumber dengan peserta, bahkan narasumber sering kali cukup menjadi pemantik dan sumber informasi berasal dari banyak pihak yang terlibat. Akhhh, saya jadi teringat kata kata Bapak Pendidikan kita “Semua orang adalah guru, dan semua tempat adalah sekolah” (Ki Hadjar Dewantara), kata kata tersebut sangat sangat dapat dilihat sepanjang diskusi berjalan.

Selain menjadi ruang aktualisasi ide dan komunikasi antar elemen, kegiatan semacam ini juga turut membuktikan bahwa warung kopi tak hanya sekadar tempat nongkrong atau sekadar “buang waktu” saja. Tapi, sangat bisa membawa perubahan di tataran sosial masyarakat, minimal menumbahkan lagi semangat berdialektika di kalangan anak anak muda.