Dulu, ketika saya kecil atau sekitar medium 2000an awal hingga tahun 2010an, melihat Malang banjir adalah hal yang aneh bahkan tidak pernah terpikirkan sedikit pun. Sederhana sebenarnya, saat itu saya berfikir bahwa sebagian wilayah Malang Raya berada pada dataran tinggi dan juga banyak aliran Sungai yang membentang diantara wilayah ini, salah satunya adalah Sungai Brantas, yang merupakan Sungai terpanjang kedua di Jawa setelah Bengawan Solo. Hal inilah yang membuat saya berfikir, sangat tidak masuk akal jika terjadi banjir di Malang Raya.
Namun, semua itu seketika berubah sejak tahun 2011an, ketika hujan deras melanda Malang bisa dipastikan akan terjadi banjir di beberapa titik dengan kedalaman yang bervariasi mulai dari semata kaki hingga sepinggang orang dewasa juga ada. Kondisi seperti ini sangat tidak wajar bagi saya, pasalnya ada beberapa titik banjir yang menggenang di jembatan yang membelah Sungai, jadi aliran air terhambat diatas jembatan tidak dapat mengalir ke arah Sungai.
Disisi lain, masalah air di Malang Raya tidak berhenti pada kondisi “kelebihan” air saat hujan saja. Ketersediaan air bersih, khususnya ketika musim kemarau, juga turut menjadi masalah di Malang Raya. Padahal, jika di runtut Malang Raya sendiri memiliki puluhan sumber air yang tersebar di berbagai daerah.
Tirta Carita

Fenomena inilah yang kemudian membawa kami East Java Ecotourism Forum untuk membedah dan mendiskusikan film “Tirta Carita” hasil garapan dari salah satu dosen STAB (Sekolah Tinggi Agama Budha). Selain sebagai ruang apresiasi karya, kandungan film yang menceritakan bagaimana kayanya sumber mata air dengan gunung-gunungnya di Malang raya yang keberadaannya terancam karena perubahan sosial dan kebutuhan, menjadi alasan kami mengangkat karya ini. Tak hanya itu, dalam film tersebut juga turut diceritakan bagaimana masyarakat melakukan konservasi air dengan kepercayaan turun temurunnya dikemas sangat menarik untuk terus dibahas.
Diskusi ini merupakan episode kedua dari serial bedah film Tirta Carita, jika sebelumnya kami mendatangkan sutradaranya untuk menceritakan bagaimana mengkampanyekan pentingnya menjaga air, kali ini kami mendatangkan salah satu pemainnya untuk bercerita bagaimana kondisi air dan perubahan lingkungan saat ini. Narasumber sekaligus Mantan Direktur Utama Jasa Tirta I yakni Raymond Valiant membersamai kami pada episode kali ini, beliau tidak sendiri, bersama dengan aktivis lingkungan yang sekaligus menjadi moderator pada sesi sebelumnya Daniels Stephanus, kita menelusuri bagaimana perubahan lingkungan dan iklim mempengaruhi air saat ini.
Sebagai kebutuhan dasar manusia, hari ini air malah dipandang sebagai barang yang sangat mudah diperoleh hanya dengan membuka keran saja, padahal ada banyak ekosistem dibaliknya yang sangat mempengaruhi kondisi air saat ini, pantikan awal dari narasumber ini secara tidak langsung menggambarkan bagaimana banyak persoalan air khususnya di Malang Raya.
“Jaman dulu, kita memiliki banyak sumber mata air yang dapat dimanfaatkan, akan tetapi saat ini Kota Malang sendiri hanya mengandalkan sumber Wendit sebagai mata airnya”, Jelas Raymond. Hal tersebut sangat kontradiktif jika melihat kondisi Malang saat ini, sebagai Kota Pendidikan, Malang akan selalu mengalami peningkatan penduduk setiap tahunnya, belum lagi usaha usaha pendukung yang turut berkembang, tapi malah sumber sumbernya berkurang drastis.
Sebenarnya, masalah seperti ini sudah disikapi pemerintah lewat regulasi tentang tata Kelola air, akan tetapi implemantasinya sangat jauh dari kata ideal. Sebagai contoh, Raymond menceritakan bagaimana kegagalan pemerintah untuk menjamin ketersedian air bersih saat ini, pada tahun 2014 PDAM seluruh Indonesia menyalurkan 1 miliar meter kubik air atau jika dikalkulasikan sekitar 2,5 triliun. Akan tetapi, berdasarkan data beberapa asosiasi air minum dalam kemasan, mereka cukup menyalurkan 300juta meter kubik untuk nilai 16 triliun. Artinya, rakyat harus merogoh kocek 16 triliun untuk air minum, karena tidak dapat mengkonsumi air minum langsung dari keran.

Berbeda dengan Raymond yang menjelaskan terkait ketersediaan air bersih, Daniel mencoba menghubungkan dengan kondisi yang dapat dirasakan langsung kala itu, cuaca panas/ elnino yang saat ini dirasakan cenderung menimbulkan kekeringan, akan tetapi ketika la nina malah “kebanyakan” air, Kota Batu yang dulu menjadi resapan air saja, sekarang juga merasakan kebanjiran. Kondisi seperti ini dipandang Daniel sebagai dampak dari krisis ekologi yang terjadi, naasnya ini semua juga diperparah dengan krisis perilaku yang membersamai.
Sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi ini, Daniel mengajak kami semua untuk menjaga air lewat rumah kita, “Dengan membiasakan meminimalisir produk yang menimbulkan polutan, sebenarnya kita tak hanya turut menjaga ekosistem air, tapi juga berdampak pada penghematan secara ekonomi”, terangnya.
Ya, memang membiasakan diri menjaga air dari rumah ini terlihat seperti hal yang simple, tapi untuk saat ini diakui atau tidak, kita telah berbuat semena mena atas ketersedian air.