Dulu, ketika saya kecil atau sekitar medium 2000an awal hingga tahun 2010an, melihat Kota
Malang banjir adalah hal yang aneh bahkan tidak pernah terpikirkan sedikit pun di benak saya.
Sederhana sebenarnya, saat itu saya berfikir bahwa Kota Malang berada pada dataran tinggi dan
juga banyak aliran Sungai yang membelah diantara kota ini, salah satunya adalah Sungai Brantas,
yang merupakan Sungai terpanjang kedua di Jawa setelah Bengawan Solo. Hal inilah yang
membuat saya berfikir, sangat tidak masuk akal jika terjadi banjir di kota ini.
Namun, siapa sangka diatas tahun 2010an fenomena ini terjadi dan bertahan hingga sekarang, saat
ini bisa kita lihat ketika hujan deras melanda Malang akan sedikit sedikit terjadi banjir pada
beberapa titik. Di sisi lain, ancaman ketersedian air bersih juga turut menghantui Malang,
meskipun kota ini dikelilingi beberapa sumber air dan aliran Sungai yang cukup luas, serta ketika
hujan “kelebihan” air.
Beberapa perubahan tersebut, membawa East Java Ecotourism Forum (EJEF) mengadakan
serangkaian diskusi di Kedai Rupa Duta.
Sebenarnya, diskusi semacam ini bukan kali pertama diadakan, Kedai Rupa Duta bersama EJEF
sendiri telah mempunyai sebuah program yang dinamai “Sekolah di Kedai” sejak tahun 2023 lalu.
Kegiatan diskusi yang dikemas secara informal tanpa meninggalkan substansi dari setiap tema
yang dibahas, telah diadakan beberapa kali dengan berbagai tema.
Pada diskusi kali ini, sebuah film “Tirta Carita” yang diproduseri oleh Efi Latifah menjadi
pengantar untuk membahas peliknya masalah air di Kota Malang secara khusus dan Malang Raya
secara umum. Film dokumenter yang membahas beberapa sumber mata air di Malang Raya dengan
sisi folklore dan ekologisnya, cukup menggambarkan bagaimana ekosistem air di Malang berubah.
Ada 3 seri dalam serangkaian bedah film “Tirta Carita” tersebut, narasumber yang dihadirkan juga
dari berbagai elemen mulai dari Jurnalis, produser film, relawan kebencanaan, akademisi, praktisi
pariwisata, mahasiswa hingga Mantan Direktur Utama Perum Jasa Tirta I periode 2018-2023.
Film dan Sebuah Upaya Merawat Perjuangan
Sebagai salah satu media komunikasi massa, sebuah film umumnya akan menggabungkan
keserasian antara gambar, suara, dan narasi untuk bercerita. Keselarasan beberapa elemen tersebut
menjadikan film sangat berpotensi menjangkau jutaan orang bahkan mempengaruhi lewat
pelibatan emosional dan intelektual kepada penonton.
Berangkat dari hal tersebut, pada sesi pertama bedah film “Tirta Carita”, kami mengambil tema
tentang bagaimana mengelola sebuah gerakan melalui sebuah film. Dalam acara ini, kami turut
mengundang Efi Latifah yang merupakan produser film tersebut dan juga Moh. Badar sebagai
perwakilan praktisi dari AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) yang sekaligus pengelola dari media
“Gusdurian Peduli”, ditemani dengan Daniels Stephanus yang juga merupakan anggota EJEF
mereka memaparkan bagaimana tujuan film ini dibuat dan dampaknya bagi masyarakat secara
luas.
Film yang disutradarai oleh Subiyanto tersebut, projek awalnya sebenarnya adalah buku, tetapi
karena akses dari sebuah buku dirasa masih sangat terbatas, Efi bersama kawan kawan akhirnya
memutuskan untuk membuat sebuah film “agar karya ini bisa tetap lestari dan jadi pembelajaran
anak cucu secara luas nantinya” terang Efi, cita cita inilah yang kemudian mendorong mereka
menuangkan isi buku menjadi sebuah film berdurasi 30 menitan ini.
Sebagai film yang memiliki cita cita besar, Efi tidak mau film ini bersifat subjektif saja, baginya
pelibatan banyak elemen menjadi hal yang sangat krusial untuk mewujudkan cita cita mulia
tersebut.
Upaya mewujudkan cita cita tersebut dilakukan tidak main main, Efi menjelaskan bahwa proses
film ini banyak melibatkan berbagai pihak mulai dari akademisi, kepala Dinas Pariwisata
Kabupaten Malang, mantan Direktur Jasa Tirta, jurnalis hingga beberapa mahasiswa dan
komunitas lokal. Mereka semua terlibat dengan peran dan kompetensinya masing masing.
Tak berhenti hanya melibatkan saja. Bahkan, sebelum penayangan film, mereka mengadakan FGD
(Focus Group Discussion) bersama pihak pihak diatas. Melalui forum tersebut, film itu akhirnya
harus “dibongkar” kembali, untuk lebih mendapatkan kondisi realistis yang terjadi di alam dan
masyarakat secara langsung, hal tersebut tentu saja dilakukan agar masyarakat lebih aware
bagaimana kondisi air dan alam Malang Raya saat ini.
Perjuangan panjang mereka tidak sia-sia, setelah film ini tayang, banyak dari beberapa komunitas
yang tertarik untuk membedah dan kemudian mendiskusikan permasalahan air yang terkandung
dalam film tersebut. Efi sebagai produser sangat tidak keberatan jika film ini dibedah secara luas,
bahkan tanpa perlu ijin sekalipun, karena baginya masalah “royalti” ataupun hal hal yang bersifat
komersil tidak jauh lebih penting daripada nilai yang ada dalam film.
Selaras dengan pernyataan tersebut, Badar juga mengungkapkan bahwa film ini sangat “special”,
kenapa? Baginya “Tirta Carita” ini adalah film yang “penuh” tapi digratiskan dan
mengesampingkan nilai komersial untuk tujuan yang lebih besar.
Dalam diskusi tersebut Badar juga mengungkapkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh AJI
beberapa waktu lalu, bahwasannya saat ini masyarakat Indonesia lebih cenderung dapat menerima
informasi lewat sebuah visual yang menarik dan tentu saja harus kolaboratif. Badar mengambil
contoh film “sexy killer” yang dikeluarkan oleh Watchdoc dengan kolaborasi banyak pihak kala
itu, terbukti cukup membuat masyarakat tau tentang adanya isu yang diangkat dalam film tersebut,
bahkan tiga hari setelah perilisannya sexy killer tembus 5 juta viewers dengan 15 ribu komentar.
Ini membuktikan bahwa kolaborasi yang tepat serta dikemas dengan visual dan narasi menarik,
mampu membawa dampak besar pada tataran sosial di masyarakat, imbuhnya.
Selain karakter masyarakat, perkembangan teknologi juga turut serta menjadi pengaruh bagaimana
perubahan kehidupan sosial di masyarakat. Di era digital saat ini memang sudah tidak dapat
dipungkiri, bahwasannya segala informasi dapat menyebar dengan sangat cepat dari berbagai arah.
Media sosial saat ini layaknya sudah seperti ombak, bergerak dan berubah dengan begitu cepat.
Kecepatan media sosial ini, ternyata membawa dampak yang begitu besar bagi efektivitas media,
semakin kesini media “mainstream” semakin tidak punya peran bagi kontrol sosial, sebagai
contoh, Aan lulusan komunikasi UMM yang kebetulan hadir dalam forum ini mengungkapkan
“saat ini, peran media mainstream semakin terkikis, seperti misalnya di Malang hampir tidak ada
media yang mampu mengkritisi pembangunan di Kota Malang yang kurang berpihak pada
masyarakat dan alam”, tentu saja ini bukan hanya karena penurunan kualitas media saja, tapi
tingkat literasi di masyarakat yang masih rendah juga mempengaruhi hal tersebut terjadi. Lalu
selanjutnya Aan menanyakan, bagaimana keefektivitasan gerakan melalui sebuah media,
khusunya film?
Sebelum riset untuk kebutuhan film, kami terlebih dahulu menyusuri bagaimana kepercayaan
masyarakat disana, terang Efi. Mungkin tidak semua, tapi banyak dari masyarakat kita yang masih
kental dengan akar budaya dan kepercayaan lokal mereka, ternyata beberapa dari mereka
menggunakan kepercayaan tersebut untuk melindungi alam sekitar termasuk air, hal hal inilah
yang kemudian dikemas dalam sebuah film. Pendekatan semacam itu, menurut tim produksi “Tirta
Carita” terbukti cukup efektif, dengan menyentuh sisi yang dekat dengan masyarakat tanpa
menghilangkan nilai lokal, membuat mereka akan jauh lebih merasakan bagaimana sebenarnya
realita yang terjadi di depan mereka. Efi juga bercerita, pernah suatu ketika film ini dijadikan salah
satu liputan oleh media di Malang dengan judul “Musim Banjir”, pengambilan judul tersebut
mampu membuat banyak masyarakat terpantik, hal tersebut dikarenakan Malang saat itu, dapat
dipastikan ketika ada hujan akan terjadi musibah banjir.
Penggabungan nilai lokal, isu lokalitas dan narasi menarik, menjadi salah satu cara bagaimana
sebuah film maupun karya jurnalistik dapat “sampai” secara efektif.
Lebih jauh dari itu, Wakil dari AJI juga turut bercerita bagaimana pemutaran film yang
dilaksanakan di salah satu desa, Desa Sumber Sareh, begitu Badar menyebutkan. Desa tersebut
merupakan salah satu desa yang dulunya banyak sekali sumber air, akan tetapi saat ini sudah mulai
tiada bahkan tak banyak masyarakat lokal yang tau, bahwa desanya dulu memiliki beberapa
sumber air. Lewat pemutaran film tersebut, mereka akhirnya tau kenyataan itu dan kemudian
merasakan bagaimana dampaknya saat ini ketika sumber itu hilang, kalau dulu sesepuh mereka
tinggal ambil saja air bersih, mereka saat ini harus rela membeli, karena sumbernya hilang.
Pemutaran film di tempat tempat seperti inilah yang bisa dilakukan untuk mendorong transformasi
sosial lewat karya karya jurnalistik maupun non-jurnalistik.